Pada umumnya para penenun yang tetap beroperasi hingga saat ini adalah mereka yang masih memiliki keterampilan dan ingin memelihara warisan dari orang tua dan nenek mereka.
Ada beberapa alasan yang dikemukakan: 1) ingin tetap melestarikan warisan nenek moyang yang diturunkan secara turun temurun; 2) kain tenunan merupakan ciri khas daerah yang membedakan dengan daerah lain di nusantara; 3) bangga memiliki keterampilan warisan sebagai penenun dari nenek moyang; 4) membantu memenuhi kebutuhan keluarga ketika suami berlayar mencari nafkah dirantau orang.
Salah satu budaya masyarakat Wakatobi di masa lalu, yang diturunkan kepada anak-anak perempuan yang sudah menanjak dewasa diwajibkan untuk belajar menenun dari orang tua atau nenek, karena keterampilan menenun merupakan syarat untuk bisa dinikahkan.
Hal ini mengandung makna filosofis bahwa ketika anak perempuan dewasa yang telah dinikahkan maka dia harus mampu mempertahankan kebutuhkan keluarganya, ketika ditinggal suami berbulan-bulan hingga bertahun mencari nafkah dirantau.
Hal ini terkait dengan kondisi geografis Wakatobi yang terdiri dari pulau-pulau kecil yang kering dan bebatuan, sehingga kurang memungkinkan untuk bertahan hidup layak dengan hasil-hasil pertanian.
Sementara sumber kehidupan yang bertumpu pada sektor perikanan dan kelautan belum menjadi menjadi perhatian masyarakat dan pemerintah saat itu.
Karena itu, maka satu-satunya mata pencarian yang oleh nenek moyang masyarakat Wakatobi sejak dulu yang dianggap lebih menjanjikan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang lebih layak dan mudah dilaksanakan berdasarkan keterampilan yang dimiliki adalah berlayar mengarungi samudra mencari nafkah di daerah lain.
Walau kegiatan mengarungi lautan di masa lalu sangat tergantung dari hembusan angin yang bertiup. Jika arah angin sejalan dengan tujuan dan atau arah perahu yang dikehendaki, maka perahu sebagai sarana mencari nafkah akan cepat sampai tujuan, baik itu ketujuan sumber rejeki atau alat pemenuh kebutuhan, maupun ketujuan kampung halaman atau ketempat tinggal keluarga istri dan anak serta orang tua dan sanak saudara.
Namun, kalau arah angin tidak sejalan dengan tujuan yang dikendaki, maka perahu akan lama teromabng ambing di tengah lautan, hingga lama mendapatkan rejeki yang pada akhirnya juga akan lama berlabu di kampung halaman, untuk memenuhi kebutuhan keluarga, istri dan anak-anak.
Dalam kondisi inilah, maka peran perempuan sebagai istri dan ibu dari anak-anak yang ditinggalkan suami dan ayahnya mencari nafkah di rantau ataupun perempuan sebagai anggota keluarga lainnya berjuang menunjang pemenuhan kebutuhan keluarganya melalui aktivitas menenun yang telah diwariskan oleh orang tua dan nenek moyang secara turun temurun.
Di masa lalu, hasil tenunan yang dihasilkan oleh para perempuan atau ibu-ibu rumah tangga, untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, maka tenunannya dijual masyarakat sekitarnya atau dibarter dengan kebutuhan hari-hari seperti: jagung, beras, dan atau umbi-umbian. Dengan demikian, implementasi keterampilan menunenun memiliki nilai filosofis yang sangat mulia dalam kehidupan masyarakat Wakatobi dalam mempertahankan keberlanjutan hidup keluarganya.
Memperhatikan nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam aktivitas keterampilan menenun ini, maka merupakan suatu keniscayaan bagi pemerintah atau para pengambil kebijakan saat ini, untuk segera mengembangkan usaha mereka dengan memperhatikan berbagai daya dukung yang harus disiapkan dan ditindak lanjuti sebagai tugas mulia. Mengingat dikalangan masyarakat umum saat ini, aktivitas mulia tersebut sudah hampir terlupakan dan atau terabaikan.
Walaupun kita patut bersyukur kepada segelintir masyarakat yang masih ingin melestarikannya, seperti yang dapat disaksikan di Pajam. Di sana, para orang tua yang memiliki anak-anak perempuan, sejak remaja sudah diharuskan untuk belajar keterampilan menenun yang langsung diimplementasikan pada saat ibunya menenun. Dan demikian seharusnya di tiga pulau lainnya mestinya melakukan hal yang sama guna melestarikan keterampilan warisan leluhur sebagai salah satu penciri budaya daerah ini.
Sumber: Studi Peningkatan Daya Saing Tenunan Lokal Di Kabupaten Wakatobi (2018)
Minggu, 03 Oktober 2021
Oktober 03, 2021
Kabar MEAKA
Ekonomi, Sosial, Tenun, Wakatobi, Wisata
No comments



0 comments:
Posting Komentar