Jika ada yang bertanya, tentang suatu Pulau di Wakatobi yang melahirkan banyak pemberdaya tangguh, rasa-rasanya tidak berlebihan jika kita langsung menunjuk ke Pulau Tomia.
Tentu publik Wakatobi, bahkan Sulawesi Tenggara tidak akan lupa dengan sosok Hugua, yang tidak hanya sebagai Maestro Pemberdaya dari Tomia, dengan sepak terjangnya di kancah nasional bahkan internasional, tetapi juga beliau pernah menahkodai Wakatobi selama 2 periode pemerintahan daerah secara berturut-turut sebagai Bupati Wakatobi, dengen prestasi mentereng, mengerek Wakatobi dari negeri 'tanpa nama' menjadi negeri 'bernama'.
Pada generasi berikutnya, publik Sulawesi Tenggara dan Wakatobi tentu juga tak asing dengan sosok Syamsudin Rahim dan Muhammad Ali ---yang akrab disebut dengan Ali Tembo--- di mana keduanya setelah malang melintang di dunia pemberdayaan melalui berbagai program dan kegiatan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di berbagai daerah, juga mendedikasikan kemampuannya dalam dunia politik sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Tentu, masih ada banyak nama lain yang merupakan generasi pemberdaya dari Pulau Tomia. Tapi uniknya, sosok yang satu ini adalah konsistensinya dalam dunia pemberdayaan masyarakat, sampai-sampai menolak berbagai kesempatan untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang merupakan impian dari banyak orang tua dan alumni Perguruan Tinggi, khususnya yang berasal dari desa-desa.
Tentu publik Wakatobi, bahkan Sulawesi Tenggara tidak akan lupa dengan sosok Hugua, yang tidak hanya sebagai Maestro Pemberdaya dari Tomia, dengan sepak terjangnya di kancah nasional bahkan internasional, tetapi juga beliau pernah menahkodai Wakatobi selama 2 periode pemerintahan daerah secara berturut-turut sebagai Bupati Wakatobi, dengen prestasi mentereng, mengerek Wakatobi dari negeri 'tanpa nama' menjadi negeri 'bernama'.
Pada generasi berikutnya, publik Sulawesi Tenggara dan Wakatobi tentu juga tak asing dengan sosok Syamsudin Rahim dan Muhammad Ali ---yang akrab disebut dengan Ali Tembo--- di mana keduanya setelah malang melintang di dunia pemberdayaan melalui berbagai program dan kegiatan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di berbagai daerah, juga mendedikasikan kemampuannya dalam dunia politik sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Tentu, masih ada banyak nama lain yang merupakan generasi pemberdaya dari Pulau Tomia. Tapi uniknya, sosok yang satu ini adalah konsistensinya dalam dunia pemberdayaan masyarakat, sampai-sampai menolak berbagai kesempatan untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang merupakan impian dari banyak orang tua dan alumni Perguruan Tinggi, khususnya yang berasal dari desa-desa.
Sosok yang dimaksud adalah Jumiadin. Beliau lahir di Wali Desa Patua Kecamatan Tomia Kabupaten Wakatobi pada tanggal 31 Desember 1978, dari pasangan seorang Ayah bernama La Ade Sainta dan Ibu Wa Baisa.
Sumber foto: https://www.instagram.com/p/Bv0oSyKhz26/?igshid=13e22fl3zu3y3&r=wa1
Beliau menghabiskan masa kecil hingga remaja di desa, bahkan telah ditempa dalam kultur dan etos kerja sebagai anak petani sejak usia dini.
Riwayat pendidikan beliau dimulai pada tahun 1984-1990 dengan menempuh pendidikan di SDN Tanowali, tahun 1990-1993 menamatkan pendidikan di SMPN Waha Tomia, dan pada tahun 1996 mendapat ijazah SMA di SMAN Tomia pada Jurusan A2 kala itu.
Pada Tahun 1996, beliau mencoba merantau untuk mencari ilmu di ibukota Provinsi Sulawesi Tenggara, tepatnya pada Universitas Haluoleo dan diterima pada Fakultas Pertanian Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian (Agribisnis) ---melalui jalur SNMPTN--- sesuai dengan cita-citanya sejak kecil untuk menjadi seorang Insinyur Pertanian, dan diwisuda pada tahun 2001.
Riwayat pendidikan beliau dimulai pada tahun 1984-1990 dengan menempuh pendidikan di SDN Tanowali, tahun 1990-1993 menamatkan pendidikan di SMPN Waha Tomia, dan pada tahun 1996 mendapat ijazah SMA di SMAN Tomia pada Jurusan A2 kala itu.
Pada Tahun 1996, beliau mencoba merantau untuk mencari ilmu di ibukota Provinsi Sulawesi Tenggara, tepatnya pada Universitas Haluoleo dan diterima pada Fakultas Pertanian Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian (Agribisnis) ---melalui jalur SNMPTN--- sesuai dengan cita-citanya sejak kecil untuk menjadi seorang Insinyur Pertanian, dan diwisuda pada tahun 2001.
Karirnya sebagai seorang pemberdaya, dimulai setelah menjadi sarjana. Beliau bergabung sebagai Tenaga Pendamping Lapangan pada salah satu LSM lokal, yang saat itu sedang memiliki program pemberdayaan, namanya Lembaga Swadaya Masyarakat Bina Masyarakat Sejahtera (LSM BMS) sampai tahun 2002.
Karir beliau pada LSM BMS, menjadi 'padepokan' pertama yang mengajarkan banyak hal tentang fundasi, filosofi, dan praktek sebagai pemberdaya yang langsung diajarkan oleh guru pertama beliau dalam dunia pemberdayaan masyarakat, Muhammad Kasir, SE., MS (Direktur LSM BMS), yang juga merupakan putra sekampungnya dari Wali Tomia.
Adapun nama program pemberdayaan masyarakat yang ditangani untuk pertama kalinya di LSM BMS adalah Small Scale Irrigation Management Program Phase III ( SSIMP III) kerjasama dengan Konsultan Nippon Coei dari Jepang.
Karir beliau pada LSM BMS, menjadi 'padepokan' pertama yang mengajarkan banyak hal tentang fundasi, filosofi, dan praktek sebagai pemberdaya yang langsung diajarkan oleh guru pertama beliau dalam dunia pemberdayaan masyarakat, Muhammad Kasir, SE., MS (Direktur LSM BMS), yang juga merupakan putra sekampungnya dari Wali Tomia.
Adapun nama program pemberdayaan masyarakat yang ditangani untuk pertama kalinya di LSM BMS adalah Small Scale Irrigation Management Program Phase III ( SSIMP III) kerjasama dengan Konsultan Nippon Coei dari Jepang.
Tahun 2002-2004 beliau bergabung di Lembaga Pengembangan Masyarakat Pesisir dan Pedalaman (Lepmil) juga sebagai Tenaga Pendamping Lapangan/Fasilitator.
Hanya dalam waktu tiga tahun, sepak terjang beliau sudah diperhitungkan dalam jagad pemberdayaan, yang akhirnya mengantarkan beliau pada tahun 2004-2005 diberi mandat untuk menjadi Direktur LSM Cinta Desa Lestari (Cides).
Pada tahun 2006 beliau pernah bergabung di LSM SCIENSES Wakatobi. Kemudian pada tahun 2007-2009 bekerja di Program Coral Reef Rehabilitation and Management Project Phase II (COREMAP - II) Wakatobi sebagai Senior Extention and Training Officer (SETO) di Pulau Binongko.
Latar belakang dan pengalaman beliau sebagai Sarjana Pertanian ikut dikontribusikan kepada masyarakat Wakatobi, pada tahun 2009-2015 beliau dikontrak sebagai Tenaga Harian Lepas Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian (THL TBPP), yang merupakan salah satu Program andalan dari Kementerian Pertanian.
Sebagai salah seorang putra dari pulau karang, beliaupun tidak hanya mumpuni pada pemberdayaan masyarakat yang bersifat agraris, tetapi juga mahir pada pemberdayaan masyarakat laut dan pesisir. Itulah salah satu yang menjadi alasan beliau bergabung dengan Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat Segi Tiga Terumbu Karang (LPSM Setia Karang) Wakatobi sejak 2008 sampai sekarang.
Salah satu pencapaian terbaik beliau pada dunia pemberdayaan masyarakat adalah ketika berhasil menjadi salah seorang pemegang Sertifikat Master Facilitator (MF) dari JICA CD Project Sulawesi tahun 2012, setelah mengikuti berbagai tahapan pelatihan meta-fasilitasi pada Program JICA CD Project Sulawesi sejak tahun 2008 - 2012.
Ilmu meta-fasilitasi tersebut merupakan konsep-konsep pemberdayaan masyarakat yang dihasilkan dari praktek panjang sang Maestro Pemberdayaan Masyarakat level internasional dari Jepang, Nobuaki Wada dan Toyokazu Nakata yang populer sejak awal tahun 2000-an.
Beliau sendiri mendapatkan ilmu meta-fasilitasi langsung dari Ashar Karateng, murid kesayangan Nobuaki Wada dan Toyokazu Nakata di Indonesia, yang di kemudian hari menjadi salah seorang inisiator dan sekaligus Direktur Yayasan COMMIT yang berkedudukan di Makassar.
Konsep meta-fasilitasi sendiri dapat dipahami secara tuntas pada buku karya Nobuaki Wada dan Toyokazu Nakata yang sudah diterjemahkan sejak tahun 2016 dari judul aslinya Reaching Out to Field Reality: Meta-Facilitation for Community Development Worker oleh Yayasan COMMIT ke dalam versi Indonesia dengan judul: Menyingkap Realitas Lapangan: Meta-Fasilitasi Bagi Pekerja Pembangunan Masyarakat.
Hanya dalam waktu tiga tahun, sepak terjang beliau sudah diperhitungkan dalam jagad pemberdayaan, yang akhirnya mengantarkan beliau pada tahun 2004-2005 diberi mandat untuk menjadi Direktur LSM Cinta Desa Lestari (Cides).
Pada tahun 2006 beliau pernah bergabung di LSM SCIENSES Wakatobi. Kemudian pada tahun 2007-2009 bekerja di Program Coral Reef Rehabilitation and Management Project Phase II (COREMAP - II) Wakatobi sebagai Senior Extention and Training Officer (SETO) di Pulau Binongko.
Latar belakang dan pengalaman beliau sebagai Sarjana Pertanian ikut dikontribusikan kepada masyarakat Wakatobi, pada tahun 2009-2015 beliau dikontrak sebagai Tenaga Harian Lepas Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian (THL TBPP), yang merupakan salah satu Program andalan dari Kementerian Pertanian.
Sebagai salah seorang putra dari pulau karang, beliaupun tidak hanya mumpuni pada pemberdayaan masyarakat yang bersifat agraris, tetapi juga mahir pada pemberdayaan masyarakat laut dan pesisir. Itulah salah satu yang menjadi alasan beliau bergabung dengan Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat Segi Tiga Terumbu Karang (LPSM Setia Karang) Wakatobi sejak 2008 sampai sekarang.
Salah satu pencapaian terbaik beliau pada dunia pemberdayaan masyarakat adalah ketika berhasil menjadi salah seorang pemegang Sertifikat Master Facilitator (MF) dari JICA CD Project Sulawesi tahun 2012, setelah mengikuti berbagai tahapan pelatihan meta-fasilitasi pada Program JICA CD Project Sulawesi sejak tahun 2008 - 2012.
Ilmu meta-fasilitasi tersebut merupakan konsep-konsep pemberdayaan masyarakat yang dihasilkan dari praktek panjang sang Maestro Pemberdayaan Masyarakat level internasional dari Jepang, Nobuaki Wada dan Toyokazu Nakata yang populer sejak awal tahun 2000-an.
Beliau sendiri mendapatkan ilmu meta-fasilitasi langsung dari Ashar Karateng, murid kesayangan Nobuaki Wada dan Toyokazu Nakata di Indonesia, yang di kemudian hari menjadi salah seorang inisiator dan sekaligus Direktur Yayasan COMMIT yang berkedudukan di Makassar.
Konsep meta-fasilitasi sendiri dapat dipahami secara tuntas pada buku karya Nobuaki Wada dan Toyokazu Nakata yang sudah diterjemahkan sejak tahun 2016 dari judul aslinya Reaching Out to Field Reality: Meta-Facilitation for Community Development Worker oleh Yayasan COMMIT ke dalam versi Indonesia dengan judul: Menyingkap Realitas Lapangan: Meta-Fasilitasi Bagi Pekerja Pembangunan Masyarakat.
Sumber foto: https://www.instagram.com/p/BetsoiaHc3m/?igshid=1glqemmlr01em&r=wa1
Atas pencapaian tersebut beliau mendapatkan kepercayaan sebagai Koordinator Fasilitator Kabupaten dalam Project "Survey Kegiatan Masyarakat Berkaitan Dengan Isu Perubahan Iklim di Kabupaten Wakatobi" pada Program Kerjasama Yayasan COMMIT dan Japan lnternational Cooperation Agency (JICA) - Capacity Development For Climate Change Strategies (CDCCS) In Indonesia pada tahun 2012 sampai dengan 2013.
Dari sederet pengalaman beliau sebagai seorang pemberdaya tersebut, maka tak mengherankan jika beliau sejak tahun 2015 sampai saat ini, diamanahkan sebagai Tenaga Ahli Kementerian Desa PDTT di Kabupaten Wakatobi pada Program Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa.
Pada tahun 2018, beliaupun berhasil menyelesaikan studinya sebagai seorang Magister Sains pada Program Studi Ilmu Administrasi Negara/Publik di Universitas Unidayan Baubau.
Akankah seluruh titisan pengalaman generasi pendahulu beliau sebagai para Maestro Pemberdaya dari Tomia mewaris secara sempurna ke beliau, setelah 'kholash' berkali-kali sebagai Sang Pemberdaya maka akan ke gelanggang politik ? Nanti waktu yang menjawabnya.
Yang jelas, beliau telah menunjukkan 'maqom-nya' sebagai salah seorang generasi pemberdaya masyarakat yang memancar jelas dari tanah Wali Wakatobi. [S1]
Mantap... sukses selalu adinda...
BalasHapus