Selasa, 30 Oktober 2018

Oleh: Sunarwan Asuhadi (Ketua MASIKA ICMI ORDA Wakatobi)
Sumber: Kolom Opini Media Cetak Buton Pos Edisi Sabtu, 27 Oktober 2018 (Halaman 11)

Bermula dari gagasan Desa Timu Kecamatan Tomia Timur untuk menjadi Desa Wisata Halal yang diperkenalkan secara resmi pada tanggal 8 Oktober 2018, bergulirlah sejumlah tanggapan publik di Wakatobi yang bermuara pada pantas tidaknya menyandang branding wisata halal yang (saat ini) hanya satu desa di antara 100 desa/kelurahan di Kabupaten Wakatobi. Tentu mempersoalkan ini, kurang lebih sama halnya membicarakan adanya branding makanan halal di sejumlah produk makanan kemasan di negeri mayoritas muslim ini.

Terlepas dari dialektika simbol wisata tersebut, tentu kita mengapresiasi Masyarakat dan Pemerintah Desa Timu yang dengan kesadaran kolektifnya membuat terobosan dengan mengafirmasi identitasnya secara terbuka. Identitas wisata seperti ini dapat menghapus stigma hitam pariwisata selama ini yang dikesankan dengan menghidupkan suasana yang pro kemaksiatan, seperti minuman keras, perjudian, perzinahan, pagelaran festival yang menyimpang dari aqidah, seperti menghidupkan mitos, takhayul, dan khurafat yang jelas merupakan sebuah kesyirikan, termasuk memproduksi berbagai simbol-simbol yang tidak ramah syariah, seperti patung hewan yang digunakan sebagai selfie point misalnya.

 Sumber gambar : https://www.youtube.com/watch?v=Jqs3njCoY7g

Wisata halal (halal tourism) merupakan standar pelayanan wisata ‘Ramah Islam’ yang memenuhi 11 kriteria yang ditetapkan oleh Global Muslim Travel Index (GMTI), dan Kriteria ini diadopsi oleh Kementerian Pariwisata dan Association of the Indonesian Tours and Travel Agencies (ASITA). Kriteria yang dimaksud meliputi: (i) Ramah Keluarga, (ii) Keamanan, (iii) Jumlah Kunjungan Muslim, (iv) Jaminan Kehalalan Makanan dan Banyaknya Pilihan, (v) Fasilitas Sholat, (vi) Fasilitas Bandara, (vii) Pilihan Akomodasi, (viii) Kesadaran Kebutuhan Wisatawan Muslim dan Upaya Memenuhinya, (ix) Kemudahan Komunikasi, (x) Kemudahan Visa, dan (xi) Transportasi Udara. Kriteria kesebelas bahkan telah digunakan oleh Maskapai Japan Air Lines (JAL).

Tentu gagasan wisata halal Desa Timu bukanlah program dadakan, artinya para inisiator program ini membutuhkan proses sekian lama untuk mengkonstruksinya sebagai format wisata komunitas mereka, walaupun secara momentum, ide tersebut diperkenalkan bertepatan dengan sejumlah bencana di berbagai wilayah nusantara pada tahun 2018 ini, mulai dari gempa Lombok, gempa, tsunami, dan tanah longsor di Sulawesi Tengah, gempa Konawe Utara dan Konawe Kepulauan, gempa Situbondo, maupun gempa Buru Selatan. Oleh karena itu, tentu tak mengherankan jika sejumlah persepsi publik menghubungkannya dengan motivasi ruhiyah warga setempat yang bangkit akibat gempa bertubi-tubi di tanah air, dan bukan sekedar motivasi manfaat pragmatis belaka.

Kalaupun ide wisata halal ini dilahirkan dari semangat ruhiyah warga Desa Timu, apa yang salah jika digunakan untuk menginstalasi format wisata di Wakatobi? Mengingat warga Desa Timu dan seluruh warga desa dan kelurahan di Wakatobi adalah pemeluk Islam, bahkan bisa dikatakan 100% warga Wakatobi memeluk Islam. Lihatlah bagaimana masjid-masjid desa kita bertambah gairah dengan ibadah sholat dan pengajian-pengajian, serta diliputi oleh do’a-do’a bersama dalam merespon aneka peristiwa bencana di negeri ini. Ini adalah realitas modal sosial yang memang sangat relevan dengan ide dan praktek halal maupun syari’ah.

Bahkan, gagasan wisata halal dapat digunakan untuk menjadi entry point dalam membangun ‘wisata langit’ sebagai deklarasi identitas wisata di Kabupaten Wakatobi, memanfaatkan psikologi masyarakat yang mulai ‘melek bencana’. Melek bencana yang mulai dimaknai oleh warga masyarakat kita sebagaimana QS. Ar Rum ayat 41, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” Atau sebagaimana pemahaman Khalifah Umar bin Khaththab yang menghubungkan sebab bencana dengan kejadian kemaksiatan yang terjadi dalam negeri, agar terhindar dari laknat Allah Swt, sebagaimana menimpa warga kota wisata masa lalu seperti Kota Sodom, Pompeii, dan Baia. Di mana kota-kota tersebut adalah sarangnya perjudian, miras, LGBT, dan sex bebas.

Tentang ‘wisata langit’, bukanlah dimaknai sebagai wisata dengan menggunakan media lalu terbang ke langit Wakatobi, tetapi terminologi ini meminjam istilah dari Kisah Uwais al-Qarni, seorang sholeh yang hidup di masa Rasulullah Saw dan para shahabat, yang tidak terkenal di bumi, tapi sangat terkenal pada penduduk langit (para malaikat) karena amalan-amalan sholehnya, bahkan saking terkenalnya, Uwais al-Qarni disebut sebagai manusia langit. Ringkasnya, istilah wisata langit merujuk kepada budaya wisata yang standarnya menggunakan standar langit (syariat Allah Swt).

Wisata halal secara konsep tentu terbuka untuk dikritisi agar dapat mengintroduksikan variabel-variabel syariah secara lebih mendalam agar benar-benar Wakatobi menjadi negeri wisata yang baroqah. Pertanyaannya: Jika wisata langit menjadi gaya mainstream wisata Wakatobi, masihkah mungkin target kunjungan wisata bisa tercapai? Pertanyaan ini ketika diucapkan, secara otomatis menggambarkan jiwa pesisimisme terhadap rezeki Allah dari siapapun yang menanyakannya. Bahkan jika identitas ini dibangun sebagai citra wisata Wakatobi yang superior, maka selayaknya siapapun yang datang ke Wakatobi akan menyesuaikan dengan standar etika wisata yang dibangun di Wakatobi.

Beberapa kunjungan yang mungkin bisa dikategorikan dalam perspektif dunia kepariwisataan ‘Wisata langit’ Wakatobi selama ini adalah perjalanan religi (rihlah) para jama’ah dakwah yang menyebut aktivitasnya dalam terminologi khuruj, mereka bermalam di berbagai masjid di seluruh Wakatobi, berkisar 3 – 40 hari mukim di Wakatobi, bahkan jama’ah dakwah tersebut ada yang berasal dari Malaysia dan Pakistan. Tentu dunia pendidikan seperti perguruan tinggi, pesantren dan semacamnya bisa menjadi salah satu kontributor dalam membangun ide ‘wisata langit’ ini.

Selama ini, opini umum tentang konservasi di Wakatobi hanya dilokalisir untuk kepentingan konservasi terumbu karang, padang lamun, dan hutan mangrove an sich, tetapi abai terhadap konservasi nilai-nilai identitas manusianya. Disayangkan jika nyali protes masyarakat kita diarahkan hanya meluap-luap merespon adanya patahan karang, penyu yang dimakan, sampah yang bertebaran, tetapi toleran bahkan ignoran terhadap bertumbuhnya kemaksiatan. Namun, jika wisata langit ini digulirkan, maka akan terbentuk harmoni antara konservasi alam (SDA) dan konservasi nilai (SDM), bahkan secara teori, konservasi alam itu adalah konservasi nilai, bagaimana mungkin kita bisa mengendalikan kerusakan alam dari manusia, jika manusia tidak dikendalikan cara berpikirnya (konservasi nilai)? 

Pertanyaan berikutnya adalah siapa pangsa pasar wisata langit ini? Secara umum, wisata langit diperuntukkan untuk semua orang dengan berbagai latar belakang mereka. Terkait atribut syariah, beberapa kota di Indonesia telah memperkenalkan diri siap sebagai kota wisata syariah, semisal Nangroe Aceh Darussalam, bahkan MUI dan Kementerian Pariwisata pada Desember 2012 telah melakukan soft launching wisata syariah di Surabaya.

Terakhir, bagaimana instalisasinya? Wisata langit tidak hanya formalitas sarana prasarana yang friendly terhadap syari’ah, tetapi bagaimana membangun karakter masyarakatnya yang paham syari’ah. Maka upaya yang paling utama adalah memberikan ruang bagi berkiprahnya dakwah di tengah-tengah masyarakat, oleh karena dakwah itu adalah kewajiban, maka setiap diri pejabat maupun masyarakat dapat mengambil begian sebagai aktor dakwah syari’ah. Dalam dakwah itu sendiri telah mengandung seruan tentang konten kode etik wisata syariah. Dan yang tak boleh dilupakan adalah bagaimana mempertahankah implementasi kode etik wisata syariah, melalui berfungsinya kontrol syariah yang dalam bahasa populernya adalah amar ma’ruf nahy munkar. Allahu A’lam.

0 comments:

Posting Komentar

Komentar

Profil Kabar MEAKA

https://www.kabar-meaka.blogspot.com/

Link Website Desa/Kelurahan Se-Wakatobi

Kec. Wangiwangi - Kec. Wangsel - Kec. Kaledupa - Kec. Kaledupa Selatan - Kec. Tomia - Kec. Tomia Timur - Kec. Binongko - Kec. Togo Binongko

Koroe Onowa - Longa - Maleko - Pada Raya Makmur - Patuno - Pookambua - Posalu - Sombu - Tindoi - Tindoi Timur - Waelumu - Waginopo - Waha - Wapia-Pia - Pongo - Waetuno - Wanci - Wandoka - Wandoka Selatan - Wandoka Utara - Kabita - Kabita Togo - Kapota - Kapota Utara - Komala - Liya Bahari Indah - Liya One Melangka - Liya Togo - Liyamawi - Matahora - Mola Bahari - Mola Nelayan Bakti - Mola Samaturu - Mola Selatan - Mola Utara - Numana - Wisata Kolo - Wungka - Mandati I - Mandati II - Mandati III - Ambeua Raya - Balasuna - Balasuna Selatan - Horuo - Kalimas - Lewuto - Mantigola - Ollo - Ollo Selatan - Samabahari - Sombano - Waduri - Ambeua - Buranga - Lagiwae - Laolua - Darawa - Kaswari - Langge - Lentea - Pajam - Peropa - Sandi - Tampara - Tanjung - Tanomeha - Kollo Soha - Lamanggau - Patua - Patua II - Runduma - Teemoane - Waitii - Waitii Barat - Onemay - Waha - Dete - Kahianga - Kulati - Timu - Wawotimu - Bahari - Patipelong - Tongano Barat - Tongano Timur - Jaya Makmur - Kampo-Kampo - Lagongga - Makoro - Palahidu Barat - Palahidu - Rukuwa - Taipabu - Wali - Haka - Oihu - Popalia - Sowa - Waloindi

Ikuti Kabar MEAKA di Facebook

Ikuti Kabar MEAKA di Twitter

Ikuti Kabar MEAKA di Youtube

Recent Post

Link Web Desa IDM Terbaik Nasional 2018

Ngroto - Gondang - Munggur - Ngringo - Sukosewu

Link Web Desa IDM Terbaik Sultra 2018

Banabungi - Lambandia - Waemputang